Selasa, 09 Desember 2014



PULAU KARANTINA DAN TANTANGAN PENYAKIT
Oleh : Drh.  Agus Karyono


Masih tingginya harga daging dan belum tercapainya swasembada daging sapi akhirnya memaksa pemerintah bersama DPR untuk meng amandeman UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Diantara pasal  36 dan 37 disisipkan 4 (empat) pasal yaitu 36 A, 36  B, 36 C, 36 D.  Pasal 36 C berbunyi sebagai berikut ayat (1) “Pemasukan ternak ruminansia indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya”, ayat (2) “Persyaratan dan tata cara pemasukan ternak ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang kesehatan hewan mengutamakan kepentingan nasional”. Kemudian pasal 36 D ayat 1 berbunyi “Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pasal 36C harus ditempatkan di pulau/tempat karantina sebagai Instalasi karantina Pengamanan Maksimum untuk jangka waktu tertentu”. Ayat 2 berbunyi “Ketentuan mengenai pulau/tempat karantina diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Salah satu klausul yang penting dari amandemen UU PKH tersebut adalah skema importasi yang tadinya berbasis negara (country based) menjadi zona based. Keuntungan berbasis zona adalah pasokan sapi dan daging dapat berasal dari banyak negara dan tidak bergantung pada satu negara sehingga pada akhirnya kualitas dan harga dapat terjangkau oleh rakyat. Kerugian yang terpenting adalah sisi teknis penyakit baik eksotik dan endemis, jika kita lengah dan tidak waspada maka penyakit akan masuk sehingga berpotensi memusnahkan sumber daya  alam yang kita miliki. Biaya, waktu, tenaga, sarana dan prasarana untuk melakukan pengendalian, pemberantasan dan pembebasan penyakit tersebut akan sangat besar. Contohnya kita pernah mempunyai pengalaman dalam upaya pemberantasan dan pembebasan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada sapi dan berhasil. Perlu waktu 100 tahun lebih untuk membebaskannya. Pertama kali muncul tahun 1887 dan dinyatakan bebas oleh OIE 1990.
Implikasi dari perubahan UU ini adalah akan timbul effort yang sangat besar di bidang teknis perkarantinaan dan pengawasan ternak yang lebih ketat. Dari yang tadinya importasi berbasis negara yang sudah sangat aman menjadi berbasis zona sehingga tindak karantina yang dilakukan akan sangat ketat (rigid). Sebanyak 65 penyakit hewan karantina golongan I dan 56 penyakit golongan II yang harus kita cegah masuk.
Skema country base tidak menguntungkan bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan, oleh sebab itu dibutuhkan suatu daerah untuk menampung sapi-sapi tersebut dalam jangka waktu tertentu di sebuah pulau yang dinamakan Pulau Karantina. Pemerintah telah menyiapkan 3 pulau yaitu Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara dan Sumatra Utara.
Pulau karantina merupakan salah satu bagian dari Kebijakan Pengamanan Maksimum atau Maximum  Security Policy. Definisi Pengamanan Maksimum adalah segala  upaya, tindakan dan langkah kegiatan baik yang bersifat administratif maupun teknis, untuk mencegah masuknya hewan dan bahan asal hewan, serta hasil ikutannya yang berpotensi membawa penyakit menular (khususnya yang termasuk List A OIE) dan penyakit eksotik lainnya dalam rangka melindungi dunia peternakan di Indonesia. Inti dari Kebijakan Pengamanan Maksimum adalah tindak kesehatan hewan (termasuk kesmavet juga) dan Tindakan Karantina. Kebijakan tersebut harus  senantiasa berlandaskan ilmiah dengan pendekatan ilmu terapan Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Disamping landasan ilmiah juga diperlukan landasan yuridis dan legalitas, baik berdasarkan peraturan perundangan dalam negeri atau berdasarkan konvensi internasional. Di dalam penerapan Kebijakan Pengamanan Maksimum landasan ilmiah dan yuridis  tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen yaitu tidak pilih bulu dan berkelanjutan serta tanpa ada pengecualian. Aspek legalitas yang urgen untuk segera diselesaikan adalah Peraturan Pemerintah mengenai Pulau Karantina oleh Badan Karantina Pertanian. Dalam UU ini hanya sapi indukan yang diperbolehkan masuk sedangkan sapi bakalan (feeder) dan sapi siap potong (slaughter) tidak termasuk di dalam aturan ini sehingga tidak boleh di impor.
          Dari aspek teknis tindak karantina penguatan laboratorium mutlak harus dipersiapkan. Karena berbicara mengenai suatu penyakit (disease), peran uji laboratorium adalah suatu hal yang wajib dilakukan. Untuk penyakit-penyakit menular tertentu seperti BSE, PMK diperlukan standar laboratorium Bio Safety Level (BSL) 4. Penguatan laboratorium dimulai dari peningkatan standar kompetensi SDM laboratorium, alat-alat pengujian, level laboratorium dan tentunya ruang lingkupnya harus sudah terakreditasi.
Seiring dengan visi kabinet Kerja Presiden Joko Widodo sekarang adalah akan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia. Pulau Karantina adalah salah satu tantangan yang harus kita hadapi dan buktikan untuk menuju kemandirian pangan. Perlu kerjasama dan koordinasi yang sinergis antar Kementerian baik Kementerian Pertanian (Karantina) terkait tindak karantina, Kementerian Keuangan (custom) terkait fiskal, KemenkumHam (imigrasi) terkait lalu lintas orang, Kementerian Perhubungan terkait penyediaan dermaga bongkar. Semoga…….

Minggu, 06 Juli 2014

Indonesia membuka kembali importasi produk unggas non pangan dari Cina dan RRC



INDONESIA KEMBALI BUKA IMPORTASI PRODUK UNGGAS NON PANGAN DARI RRC DAN TAIWAN

Kabar gembira bagi pelaku usaha yang selama ini mengimpor dan mempergunakan produk unggas dari Cina. Dikarenakan sejak 4 Juni 2014 Kementerian Pertanian dengan SK No. 69/Permentan/OT.140/5/2014 membuka kembali pemasukan produk unggas non pangan yang berasal dari Negara Cina. Pembukaan importasi mengacu pada Terrestrial Animal Health Code bagian 10.4 yang dikeluarkan oleh OIE, Rekomendasi Komisi Ahli Kesehatan Masyarakat Veteriner dan kajian resiko oleh karantina hewan bahwasanya produk unggas yang telah melalui proses pemanasan yang sesuai dengan jenis olahannya dapat membunuh atau mengeliminasi virus Avian Influenza. Dengan catatan metode prosesing atau pengolahan harus dicantumkan di dalam Health Certificate.
Penutupan importasi dilakukan sejak 10 April 2013 sejak mewabahnya penyakit Avian Influenza subtype H7N9 yang menyerang burung dara di wilayah Songjiang, Shanghai Cina yang menyebabkan kematian pada manusia dan berpotensi menimbulkan pandemik ke berbagai wilayah di dunia. Langkah cepat pemerintah dilakukan karena subtipe H7N9 merupakan varian baru yang belum ada di Indonesia. Varian lama yang telah dikenal adalah subtype H5N1. Produk-produk yang sudah diperbolehkan masuk diantaranya Duck down (bulu bebek halus bagian dalam), goose down (bulu angsa halus bagian dalam), duck feather down (bulu bebek bagian luar), goose feather down (bulu angsa bagian luar) yang dipakai sebagai bahan baku industri garment seperti pembuatan jaket, bantal dan shuttlecock. Produk lain yang sering diperdagangkan diantaranya Poultry By Product Meal (tepung produk turunan unggas), Feather Meal (tepung bulu), Poultry Meal (tepung unggas) dan Hydrolized chicken Feather Meal (tepung bulu unggas basah) yang dipakai sebagai bahan baku pakan ternak. Sedangkan Unggas hidup dan produk unggas pangan masih belum dibuka kran importasinya. Produk unggas non pangan yang paling banyak didatangkan dari Cina adalah duck down, goose down.
Menurut Anders Enterprises Ltd  salah satu produsen, proses produksi sehingga menghasilkan duck down dan goose down yang siap di impor sebagai berikut : Tahap Pertama bulu bebek dan angsa dilakukan pencucian dengan detergent dan anti-bacteria detergent selama 20 menit dengan suhu 600 C. Tahap kedua pemintalan (spinning), Tahap ketiga sterilisasi dan pengeringan dengan alat stearn dry dengan temperature 1230 C selama 30 menit. Tahap ke empat penurunan suhu (pendinginan) selama 8-10 menit. Tahap kelima packing. Critical point dan risk analysis (analisa resiko) penyakit yang menyebabkan goose down dan duck down dapat di impor adalah adanya proses pemanasan hingga 123 derajat selama 30 menit, padahal target penyakit virus Avian Influenza akan mati pada suhu 800 C selama 1 menit. Sehingga resiko produk ini dapat diabaikan (negligible).
Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan keluhan dunia usaha dibidang garment akan kekurangan bahan baku dapat segera diatasi.

Rabu, 19 Maret 2014

Rabies dan Kesehatan Manusia


PENYAKIT RABIES DAN KESEHATAN MANUSIA
Oleh : Drh. Agus Karyono
Anggota Ikatan Dokter Hewan Karantina Indonesia (IDHKI)
Medik Veteriner Muda pada Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok

Rabies atau yang populer disebut penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus neurotropik dari ss RNA virus; genus Lyssavirus; famili Rhabdoviridae. Rabies merupakan salah satu penyakit hewan tertua di dunia, dan pertamakali dikenal di Mesir sebelum tahun 2300 SM. Bersifat akut (cepat), menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas maupun manusia. Kapan masuknya ke Indonesia tidak diketahui secara persis tetapi diperkirakan sewaktu zaman penjajahan Belanda, tahun 1890 dilaporkan oleh Penning (orang Belanda) rabies menyerang seekor anjing di Tangerang. Oleh E.de Haan tahun 1894 rabies menyerang seorang anak di Palimanan Cirebon. Ternyata tidak hanya anjing saja yang bisa menularkan rabies, akan tetapi kucing, kera/monyet yang disebut dengan istilah HPR (Hewan Pembawa Rabies) juga berpotensi / bisa menularkan rabies ke manusia. Virus rabies masuk ke dalam tubuh manusia maupun  hewan melalui luka gigitan oleh hewan penderita rabies dan melalui luka yang terkena air liur hewan penderita rabies. Tetapi angka terbanyak adalah melalui gigitan. Data kasus gigitan HPR yang terjadi adalah 90 % oleh anjing, 6% oleh kucing, 3% oleh kera/monyet, 1,5% oleh kelelewar, rubah dll. Oleh karena itu hewan yang perlu mendapat perhatian khusus adalah anjing. Dalam artian bukannnya anjing itu harus kita hindari, dibunuh, tidak tetapi dalam pemeliharaannya harus selalu memperhatikan kesehatannya. Misalnya di vaksin rutin rabies, tidak dibiarkan berkeliaran di luar rumah, dirantai dan secara rutin diperiksakan kesehatannya ke dokter hewan. Karena saat ini memelihara anjing juga banyak manfaatnya antara lain bisa untuk menjaga rumah dan  sebagai hewan kesayangan yang merupakan bagian dari keluarga (Pet Animal)
Rabies sangat ditakuti oleh para ahli dan seluruh manusia dikarenakan penyakit ini menular ke manusia (Zoonosis), belum ada obatnya. Menurut data Kementerian Kesehatan kasus gigitan anjing dari tahun ke tahun semakin meningkat, Tahun 2008 dilaporkan bahwa  kasus anjing yang diduga menderita rabies yang menggigit manusia sebanyak 20.926 kasus yang meninggal 104 orang, Tahun 2009 ada 42.106 kasus yang meninggal 137 orang, Tahun 2010 sampai bulan agustus ada 40.180 kasus yang meninggal 113 orang. Masa inkubasi pada manusia tergantung dari daerah yang di gigit. Semakin dekat dengan kepala semakin pendek masa inkubasinya karena target virus rabies adalah susunan syaraf pusat.
Tanda-Tanda Penyakit Rabies Pada Hewan Dan Manusia
Pada hewan, penyakit Rabies bias dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk yaitu bentuk diam/tenang (Dumb Rabies) dan bentuk ganas (Furious Rabies). Tanda – tanda Rabies bentuk diam/tenang (Dumb Rabies) : Hewan suka bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk, terjadi kelumpuhan, hewan terlihat tidak dapat mengunyah makanan, tidak mampu menelan air yang menyebabkan penyakit ini diberi sinonim “ hidrofobia” (takut air), rahang bawah tidak dapat dikatupkan dan air liur menetes berlebihan, kejang - kejang berlangsung singkat dan kadang sering tidak terlihat, hewan tidak ada keinginan menyerang atau mengigit. Kematian akan terjadi dalam beberapa jam.
Tanda – tanda Rabies bentuk ganas (Furious Rabies) : Hewan terlihat agresif dan tidak lagi menurut pemiliknya, air liur keluar berlebihan (hipersalivasi), nafsu makan hilang (anoreksia), suara menjadi parau, menyerang dan menggigit apa saja yang dijumpai, bila berdiri sikapnya kaku, ekor dilengkungkan ke bawah perut diantara kedua paha belakangnya, bila menyerang anak anjing akan terlihat lincah dan suka bermain, tetapi bila dipegang akan menggigit dan menjadi ganas dalam beberapa jam, kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan. Pada Manusia yang yang terkena rabies akan terlihat tanda – tanda:  lesu, nafsu makan hilang, mual, muntah, demam tinggi, sakit kepala, dan tidak bisa tidur, rasa nyeri di tempat bekas luka gigitan dan nampak kesakitan serta menjadi gugup, suka mengigau, dan selalu ingin bergerak, ada rasa takut pada air, sensitif terhadap adanya suara yang keras dan cahaya matahari, air liur dan air mata keluar berlebihan, pupil mata membesar, kejang-kejang lalu mengalami kelumpuhan dan akhirnya meninggal dunia. Biasanya penderita meninggal 4-6 hari setelah gejala-gejala / tanda-tanda pertama timbul.
Penanganan kasus gigitan
Setiap kejadian adanya gigitan oleh anjing harus diduga sebagai tersangka rabies. Tindakan yang harus dilakukan adalah : luka gigitan dicuci dengan detergent/sabun pada air yang mengalir (air kran) selama 5-10 menit, dikeringkan dan diberi Iodium Tincture atau alkohol 70% lalu di balut dengan kain yang bersih, penderita harus segera dibawa ke dokter, puskesmas atau rumah sakit yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara maupun perawatan lebih lanjut, sambil menunggu hasil observasi hewan tersangka rabies. Luka gigitan dibalut longgar dan tidak dibenarkan dijahit, kecuali pada luka yang sangat parah. Jika keadaan terpaksa dilakukan penjahitan, maka harus diberikan serum anti rabies (SAR) sesuai dosis, selain itu dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian vaksin anti tetanus, maupun antibiotik dan analgetik.
Peran serta masyarakat dalam rangka pengendalian dan pemberantasan rabies antara lain :
  1.  Jika ada kasus gigitan hendaknya dilaporkan ke petugas Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di tingkat kecamatan/kota/kabupaten/provinsi.
  2.   Hewan yang menggigit ditangkap dan dilaporkan ke Dinas di atas untuk di observasi selama 14 hari. 
  3.  Memelihara anjing dengan baik dan benar yaitu dengan cara dikandangkan dan tidak dibiarkan berkeliaran. Jika akan di bawa bepergian ke tempat umum hendaknya dibrongsong atau dirantai.
  4.  Hewan yang menggigit ditangkap dan dilaporkan ke Dinas di atas untuk di observasi selama 14 hari. 
  5.  Memvaksinasi rabies terutama anjing dan kucing minmal 1 tahun sekali di dinas peternakan maupun dokter hewan praktek.
  6.  Anjing didaftarkan di kantor kelurahan setempat.
  7.  Anjing liar yang tidak ada pemiliknya hendaknya dibunuh.
  8.  Tidak membuang makanan sisa di tempat terbuka untuk mengurangi sumber makanan anjing liar.
  9.  Tidak membuang makanan sisa di tempat terbuka untuk mengurangi sumber makanan anjing liar.
  10.   Bilamana akan melalulintaskan Hewan Pembawa Rabies seperti anjing, kucing, baik antar pulau, antar propinsi hendaknya mematuhi persyaratan karantina hewan yang ada di bandara dan pelabuhan laut.
            
           
-         
-          
-          
-          .
-          

Jaminan Daging Sapi Impor oleh Karantina



KARANTINA DAN KEHALALAN DAGING DI INDONESIA
Oleh : drh. Agus Karyono
Medik Veteriner Muda pada Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok
Badan Karantina Pertanian

Seiring dengan tumbuhnya perekonomian dan jumlah penduduk, cenderung akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan daya beli. Dari 250 juta penduduk, apalagi dengan kelompok kelas menengah keatas RI yang diperkirakan mencapai ± 100 juta orang maka secara otomatis kebutuhan dan ketersedian pangan terutama produk hewani baik kuantitas maupun kualitasnya akan meningkat. Produk hewani merupakan sumber protein yang amat penting untuk pertumbuhan tubuh sebagai sumber nutrisi kecerdasan otak. Meningkatnya konsumsi protein hewani suatu bangsa akan linier dengan kemajuan sebuah bangsa. Kita berharap umat islam di negeri ini tidak lagi menjadi kaum yang marginal, kaum yang bodoh karena tidak mendapat cukup asupan gizi protein hewani. Produksi daging sapi dalam negeri masih belum mampu mencukupi kebutuhan rakyatnya. Pemerintah saja tahun 2014 memperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan daging sapi sebanyak 40.000 ton dari kebutuhan total 580.000 ton. Untuk itulah pemerintah masih mendatangkan produk-produk itu dari luar negeri. Negara yang paling banyak mengekspor daging sapi dan jerohan ke Indonesia adalah Australia, New Zeeland, USA. Sedangkan kita ketahui bahwa negara-negara tersebut adalah non muslim sehingga kekhawatiran kita akan kehalalan produk hewani tersebut menjadi sesuatu yang wajar.
Persoalan halal menjadi hal yang sangat krusial dan urgen bagi Indonesia karena mayoritas penduduknya muslim, sehingga jelas menghendaki produk impor tersebut harus terjamin kehalalan dan kesuciannya. Dalam istilah Veterinary Public Health produk tersebut harus ASUH (Aman, Sehat, Utuh, Halal). Aspek kehalalan erat kaitannya dengan ketaatan seorang muslim terhadap syariat agamanya dan jaminan ketentraman, ketenangan bathin masyarakat bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi haruslah Halalan Thoyyiban. Dalam Alqur’an surat Al Baqoroh ayat 168 Allah berfirman “Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Jelas disebutkan bahwa, hukumnya wajib setiap muslim memakan makanan dan minuman yang halal, suci dan baik. Sedangkan memakan makanan yang tidak halal dipandang mengikuti ajaran setan dan menyebabkan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima Allah swt.
Menurut hukum islam, bahwa perkara (benda) haram terbagi menjadi 2 hal, haram Li-zatih dan  haram li-gairih.  Haram li-zatih terkait dengan benda tersebut jelas diharamkan oleh agama contohnya darah yang mengalir dari semua hewan yang disembelih dan daging babi. Sedangkan haram li-gairih terkait dengan bendanya halal namun cara penanganan tidak dibenarkan oleh ajaran islam. Contoh : Menyembelih sapi tidak dengan syar’i (tidak membaca bismillahirrohmanirrohiim dan si penyembelih bukan seorang muslim. Bendanya (Sapi) halal tapi cara penanganannya yaitu cara menyembelih dan si penyembelih tidak dibenarkan oleh ajaran islam, sehingga daging sapi tersebut termasuk haram bila dimakan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan bahwa “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan diantara kedua ada hal-hal yang mutasyabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal - haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sebenarnya ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya “. Dalam konteks ini, daging impor termasuk dalam kategori musytabihat (syubhat)  atau ragu-ragu antara halal dan haram karena berasal dari negara yang mayoritas non muslim sehingga jangan-jangan proses penanganannya tidak sesuai dengan syariat islam walaupun bahan bakunya suci dan halal. Saat ini memang, sertifikat halal belumlah merupakan suatu mandatory (kewajiban) tetapi baru sebatas voluntary (sukarela). Pemerintah berkewajiban dalam menjamin itu semua. Kita dorong terus mudah-mudahan RUU kehalalan yang sedang dibahas DPR dapat selesai sebelum Pemilu 2014.
Negara-negara yang akan memasukkan produk hewan dan turunannya ke Indonesia dan lembaga yang menerbitkan sertifikat halal di Negara pengekspor tersebut harus terlebih dahulu dilakukan audit oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah. MUI lewat Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LP.POM-MUI) melakukan penelitian, audit, dan pengkajian secara seksama dan menyeluruh terhadap produk tersebut. Produk impor yang dipersyaratkan adanya sertifikat halal adalah produk pangan yang berasal dari hewan dan turunannya yang meliputi daging sapi, kambing, daging bebek dan turunannya (sosis, nugget). Kemudian susu dan produk turunannya contohnya keju, skim milk, whey, powder, obat-obatan contohnya gelatin, kosmetika contohnya Lanolin atau minyak dari bulu domba. Sejak tahun 2006 Badan Karantina Pertanian bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menandatangani kerjasama dalam hal pemeriksaan sertifikat halal di pelabuhan pemasukan. Di setiap pintu-pintu pemasukan impor yang terdapat di pelabuhan laut dan udara, Dokter Hewan Karantina dengan kewenangan yang dimilikinya melakukan pemeriksaan kelengkapan, kebenaran dan keabsyahan dokumen. Selain persyaratan dokumen utama berupa Sertifikat Kesehatan Hewan (Health Certificate), dokumen lain yang dipersyaratkan adalah sertifikat halal (Halal Certificate). Bila tidak ada sertifikat halal maka secara otomatis komoditas tersebut tidak dapat keluar dari pelabuhan. Di dalam sertifikat halal misalnya daging sapi beku (Frozen) sekurang-kurangnya memuat tanggal penyembelihan, tanggal packing, nama penyembelih yang beragama islam, Nomor Kontrol Veteriner (NKV) atau lokasi tempat penyembelihan (Rumah Potong Hewan), tandatangan dan stempel dari Halal Certification Authority negara asal. Kemudian juga harus ada pernyataan bahwa RPH dan penyimpanannya harus terpisah dengan produk yang halal dan tidak halal dan masa berlakunya. Sebagai informasi masa berlaku sertifikat halal daging 1 (satu) tahun dan susu 2 (dua) tahun. Lembaga-lembaga yang sudah mendapat sertifikasi halal dari MUI antara lain Australia dengan The Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV) yang berbasis di Melbourne, Supreme Islamic Council of Halal Meat in Australia (SICHMA) di Sydney. New zeeland ada Alkauthar Halal Meat dan Inspection (Alkahmi). Di Jepang ada Islamic Culture Center Kyushu. Di USA ada Islamic Information Center of America (IICA).  Setiap tahun MUI juga meng Update daftar nama lembaga-lembaga yang berwenang menerbitkan sertifikat halal baik yang sudah ex pired maupun yang baru.  Karantina di dalam membebaskan (merelease) suatu produk impor telah menjamin bahwa produk tersebut sehat dan halal. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir bahwa sudah dapat dipastikan, produk hewan dan turunannya yang  dikonsumsi masyarakat sudah terjamin kehalalannya dan kesuciannya.

Rabies yang senantiasa mengancam...



PENYAKIT RABIES : Secepatnya Badan Otoritas Veteriner (BOV) Terbentuk
Oleh: drh. Agus Karyono
Medik Veteriner Muda
Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok

Media Indonesia tanggal 22 Februari 2012 menulis berita tentang adanya seorang anak berumur 8 Tahun kelas 2 Sekolah Dasar bernama Amanda Tedi Sabrina menjadi korban gigitan anjing yang di duga terjangkit rabies di betis kirinya di kelurahan Semper, Cilincing, Jakarta Utara. Subdin Peternakan, Perikanan dan Kelautan (P2K) Jakarta Utara juga melaporkan bahwa tercatat ada 26 kasus gigitan anjing sepanjang tahun ini. Ini tentunya harus diwaspadai dan disikapi dengan serius oleh para stakeholder di bidang kesehatan hewan baik Pemerintah Pusat (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan), Badan karantina Pertanian terkait dengan lalu lintas Hewan Pembawa Rabies (HPR) baik antar area maupun impor dan Pemda (dalam hal ini dinas pemerintah yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan) dan non-pemerintah PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia). Dikarenakan Propinsi DKI Jakarta sejak 6 Oktober tahun 2004 telah bebas dari penyakit anjing gila (rabies) berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 566/Kpts/PD.640/10/2004. Ini tentunya harus kita jaga dan kita pertahankan dengan sekuat tenaga dikarenakan DKI Jakarta adalah pusat bisnis dan barometernya Indonesia. Menurut Data dari Dirjennak-Keswan dari 33 provinsi di Indonesia hanya 9 daerah yang bebas dari rabies yaitu Kalbar, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, NTB, Kep Riau, Bangka Belitung, Papua dan papua Barat. Ini artinya masih ada 24 provinsi lagi yang belum bebas rabies. Dan upaya untuk membebaskan suatu daerah dari penyakit rabies membutuhkan pemikiran, tenaga, waktu, biaya yang tidak sedikit.
Rabies merupakan salah satu penyakit hewan tertua di dunia, paling ditakuti manusia dan pertamakali dikenal di Mesir sebelum tahun 2300 SM. Barangkali sebagai penyakit yang paling mematikan dari semua penyakit menular, rabies menjadi salah satu titik awal penelitian biomedis. Tahun 1885 Louis Pasteur mengembangkan, menguji, dan menerapkan vaksin rabies, karena itu membuka era modern dalam pencegahan penyakit menular lewat vaksinasi. Di Indonesia tidak diketahui secara persis kapan masuknya. Di perkirakan sewaktu zaman penjajahan belanda, tahun 1890 dilaporkan oleh Penning (orang Belanda) rabies menyerang seekor anjing di Tangerang. Oleh E.de Haan tahun 1894 rabies menyerang seorang anak di Palimanan Cirebon. Penyakit rabies masih menjadi ancaman serius di seluruh dunia karena menyebabkan kematian manusia dalam jumlah yang fantastis, tiap tahunnya yakni lebih dari 50.000 orang yang sebagian besar adalah anak-anak serta mengharuskan lebih dari 10 juta orang harus menerima pemberian vaksinasi akibat kontak dengan hewan yang diduga rabies. Menurut data Kementerian Kesehatan, Di Indonesia kasus gigitan anjing dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sekali seekor anjing tertular Lyssavirus, virus penyebab rabies, memasuki suatu pulau / daerah, penyakit itu tak lama lagi akan menyebar. Tahun 2008 dilaporkan bahwa  kasus anjing yang diduga menderita rabies yang menggigit manusia sebanyak 20.926 kasus yang meninggal 104 orang, Tahun 2009 ada 42.106 kasus yang meninggal 137 orang, Tahun 2010 sampai bulan agustus ada 40.180 kasus yang meninggal 113 orang. Masa inkubasi pada manusia tergantung dari daerah yang di gigit. Semakin dekat dengan kepala semakin pendek masa inkubasinya karena target virus rabies adalah susunan syaraf pusat.
Dampak ekonomi Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban jiwa yang diakibatkannya. Selain itu, dampak ekonomi juga sangat signifikan. Menurut WHO, estimasi kerugian ekonomi akibat rabies adalah lebih dari 583 juta dolar per tahun dengan beban terbesar adalah Asia sebagai wilayah dengan kasus rabies paling banyak. Total kerugian ekonomi atas rabies di NTT tahun 1998-2007 mencapai Rp 142 miliar atau Rp 14,2 miliar per tahun. Biaya itu dihabiskan untuk biaya pengobatan pascagigitan anjing pada manusia Rp 19,9 miliar serta biaya vaksinasi dan biaya eliminasi hewan tertular sebesar Rp 122,5 miliar (Wera, Geong, dan Sanam dalam Kompas.com, 25/10/2010). Penyakit ini menjadi masalah yang serius di negara berkembang karena lebih dari 3 (tiga) milyar manusia dilebih dari 100 (seratus) negara termasuk Indonesia beresiko tertular rabies.
Rabies atau yang populer disebut penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus neurotropik dari ss RNA virus; genus Lyssavirus; famili Rhabdoviridae. Bersifat akut (cepat), menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas maupun manusia. Hewan anjing, kucing, kera/monyet yang disebut dengan istilah HPR (Hewan Pembawa Rabies) berpotensi menularkan rabies ke manusia. Virus rabies masuk ke dalam tubuh manusia maupun  hewan melalui luka gigitan oleh hewan penderita rabies dan melalui luka yang terkena air liur hewan penderita rabies. Tetapi angka terbanyak adalah melalui gigitan. Data kasus gigitan HPR yang terjadi adalah 90 % oleh anjing, 6% oleh kucing, 3% oleh kera/monyet, 1,5% oleh kelelewar, rubah. Rabies sangat ditakuti oleh para ahli dan seluruh manusia dikarenakan penyakit ini menular ke manusia (Zoonosis), belum ada obatnya, dan sangat mematikan dengan Case Fatality Rate (CFR) 100% baik pada hewannya maupun manusianya.
Tanda-Tanda Penyakit Rabies Pada Hewan Dan Manusia
Pada hewan, penyakit Rabies bias dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk yaitu bentuk diam/tenang (Dumb Rabies) dan bentuk ganas (Furious Rabies). Tanda – tanda Rabies bentuk diam/tenang (Dumb Rabies) : Hewan suka bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk, terjadi kelumpuhan, hewan terlihat tidak dapat mengunyah makanan, tidak mampu menelan air yang menyebabkan penyakit ini diberi sinonim “ hidrofobia” (takut air), rahang bawah tidak dapat dikatupkan dan air liur menetes berlebihan, kejang - kejang berlangsung singkat dan kadang sering tidak terlihat, hewan tidak ada keinginan menyerang atau mengigit. Kematian akan terjadi dalam beberapa jam.
Tanda – tanda Rabies bentuk ganas (Furious Rabies) : Hewan terlihat agresif dan tidak lagi menurut pemiliknya, air liur keluar berlebihan (hipersalivasi), nafsu makan hilang (anoreksia), suara menjadi parau, menyerang dan menggigit apa saja yang dijumpai, bila berdiri sikapnya kaku, ekor dilengkungkan ke bawah perut diantara kedua paha belakangnya, bila menyerang anak anjing akan terlihat lincah dan suka bermain, tetapi bila dipegang akan menggigit dan menjadi ganas dalam beberapa jam, kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan. Pada Manusia yang yang terkena rabies akan terlihat tanda – tanda:  lesu, nafsu makan hilang, mual, muntah, demam tinggi, sakit kepala, dan tidak bisa tidur, rasa nyeri di tempat bekas luka gigitan dan nampak kesakitan serta menjadi gugup, suka mengigau, dan selalu ingin bergerak, ada rasa takut pada air, sensitif terhadap adanya suara yang keras dan cahaya matahari, air liur dan air mata keluar berlebihan, pupil mata membesar, kejang-kejang lalu mengalami kelumpuhan dan akhirnya meninggal dunia. Biasanya penderita meninggal 4-6 hari setelah gejala-gejala / tanda-tanda pertama timbul.
Pemberantasan dan Penanggulangan rabies
Berbicara mengenai penyakit zoonosis ada 2 (dua) penderita yaitu : Hewan dan Manusia. Ini maknanya ada 2 (dua) kewenangan medis (medical authority) yang melekat yaitu pada manusia adanya medical authority oleh dokter di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan dan pada hewan adanya veterinary medical authority oleh dokter hewan di bawah koordinasi Kementerian Pertanian (Sitepu, 2011). Selama penyakit rabies maupun penyakit zoonosis lainnya masih bersumber dari hewan, mau tidak mau kewenangan medis veteriner harus berada di garda depan. Akan tetapi pada saat ini dampak dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah (Otda) peranan kewenangan medis veteriner tidak jelas arahnya. Otda memberikan wewenang penuh Pemerintah Daerah untuk membentuk SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang diwujudkan dalam Dinas-Dinas yang kesemuanya hanya berorientasi kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk hal-hal yang  tidak berkontribusi terhadap PAD tidak menjadi prioritas. Seperti misal Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ada di suatu daerah baik itu Provinsi, Kabupaten, Kotamadya Dinas Peternakan sama sekali tidak ada. Walaupun ada tetapi di gabung dengan Dinas Pertanian, Kelautan malah ada yang digabung dengan Kehutanan. Sehingga yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan hanya setara eselon III (Kepala Bidang) atau malah eselon IV (Kepala seksi). Ini jelas akan berdampak terhadap langkah – langkah atau kebijakan yang diambil dalam pemberantasan penyakit menular yang bersumber dari binatang. Akan tetapi tatkala ada wabah penyakit yang bersumber dari binatang yang menular ke manusia seperti Flu Burung, Anthrax Pemda kebingungan harus berbuat apa. Yang ada hanya saling melempar tanggung jawab. Ini sungguh ironis. Untuk itulah Badan Otoritas Veteriner  (BOV) yang diamanatkan oleh UU No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan harus segera terwujud. Karena di dalam Badan Otoritas Veteriner seluruh pengambilan keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan selalu dengan melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi mulai dari mengidentifikasi masalah, menentukan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan teknis operasional di lapangan. Pemerintah sebenarnya telah membentuk sebuah strategi atau sistem dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular yang terpadu yang dikenal dengan konsep Siskeswanas (Sistem Kesehatan Hewan Nasional) dan BOV merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan Siskeswanas.
Di sini penulis  hanya ingin menguraikan dari aspek  kewenangan medis veteriner. Rabies termasuk jenis penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi. Dua hal pokok yang diperlukan dalam pengendalian rabies adalah vaksinasi dan pengendalian anjing baik lalulintasnya (pemasukan dan pengeluaran antar area/pulau) dan pengendalian anjing liar (stray dog). Mengacu kepada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri yang telah ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1978 untuk kegiatan pemberantasan dan penanggulangan rabies dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam bentuk :
-          Jika ada kasus gigitan hendaknya dilaporkan ke petugas Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di tingkat kecamatan/kota/kabupaten/provinsi.
-          Hewan yang menggigit ditangkap dan dilaporkan ke Dinas di atas untuk di observasi selama 14 hari. Jika anjing tersebut mati maka kepala anjing terebut di kirim ke laboratorium untuk dilakukan kepastian diagnosa penyebab kematiannya.
-          Memelihara anjing dengan baik dan benar yaitu dengan cara tidak dibiarkan berkeliaran, dibrongsong atau dirantai atau di brangus.
-          Memvaksin rabies HPR terutama anjing minmal 1 tahun sekali di dinas peternakan maupun dokter hewan praktek.
-          Anjing didaftarkan di kantor kelurahan setempat.
-          Anjing liar yang tidak ada pemiliknya hendaknya dibunuh.
-          Tidak membuang makanan sisa di tempat terbuka untuk mengurangi sumber makanan anjing liar.
-          Bilamana akan melalulintaskan anjing antar pulau, antar propinsi hendaknya mematuhi persyaratan karantina hewan di bandara-bandara maupun pelabuhan laut dan penyeberangan.
Peran serta masyarakat dan kerjasama yang sinergis antar instansi pemerintah sangat diharapkan. Ini semua untuk mewujudkan Indonesia menuju bebas rabies tahun 2015. Semoga bisa terwujud.