PENYAKIT RABIES : Secepatnya Badan Otoritas Veteriner (BOV)
Terbentuk
Oleh: drh. Agus Karyono
Medik Veteriner Muda
Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok
Media
Indonesia tanggal 22 Februari 2012 menulis berita tentang adanya seorang anak
berumur 8 Tahun kelas 2 Sekolah Dasar bernama Amanda Tedi Sabrina menjadi
korban gigitan anjing yang di duga terjangkit rabies di betis kirinya di
kelurahan Semper, Cilincing, Jakarta Utara. Subdin Peternakan, Perikanan dan
Kelautan (P2K) Jakarta Utara juga melaporkan bahwa tercatat ada 26 kasus
gigitan anjing sepanjang tahun ini. Ini tentunya harus diwaspadai dan disikapi
dengan serius oleh para stakeholder di bidang kesehatan hewan baik Pemerintah
Pusat (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan), Badan karantina
Pertanian terkait dengan lalu lintas Hewan Pembawa Rabies (HPR) baik antar area
maupun impor dan Pemda (dalam hal ini dinas pemerintah yang membidangi fungsi peternakan
dan kesehatan hewan) dan non-pemerintah PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia).
Dikarenakan Propinsi DKI Jakarta sejak 6 Oktober tahun 2004 telah bebas dari penyakit anjing gila (rabies)
berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 566/Kpts/PD.640/10/2004. Ini
tentunya harus kita jaga dan kita pertahankan dengan sekuat tenaga dikarenakan
DKI Jakarta adalah pusat bisnis dan barometernya Indonesia. Menurut Data dari
Dirjennak-Keswan dari 33 provinsi di Indonesia hanya 9 daerah yang bebas dari
rabies yaitu Kalbar, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, NTB, Kep
Riau, Bangka Belitung, Papua dan papua Barat. Ini artinya masih ada 24 provinsi
lagi yang belum bebas rabies. Dan upaya untuk membebaskan suatu daerah dari
penyakit rabies membutuhkan pemikiran, tenaga, waktu, biaya yang tidak sedikit.
Rabies
merupakan salah satu penyakit hewan tertua di dunia, paling ditakuti manusia
dan pertamakali dikenal di Mesir sebelum tahun 2300 SM. Barangkali sebagai
penyakit yang paling mematikan dari semua penyakit menular, rabies menjadi
salah satu titik awal penelitian biomedis. Tahun 1885 Louis Pasteur
mengembangkan, menguji, dan menerapkan vaksin rabies, karena itu membuka era
modern dalam pencegahan penyakit menular lewat vaksinasi. Di Indonesia tidak
diketahui secara persis kapan masuknya. Di perkirakan sewaktu zaman penjajahan
belanda, tahun 1890 dilaporkan oleh Penning (orang Belanda) rabies menyerang
seekor anjing di Tangerang. Oleh E.de Haan tahun 1894 rabies menyerang seorang
anak di Palimanan Cirebon. Penyakit rabies masih menjadi ancaman serius di
seluruh dunia karena menyebabkan kematian manusia dalam jumlah yang fantastis,
tiap tahunnya yakni lebih dari 50.000 orang yang sebagian besar adalah
anak-anak serta mengharuskan lebih dari 10 juta orang harus menerima pemberian
vaksinasi akibat kontak dengan hewan yang diduga rabies. Menurut data Kementerian
Kesehatan, Di Indonesia kasus gigitan anjing dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Sekali seekor anjing
tertular Lyssavirus, virus penyebab rabies,
memasuki suatu pulau / daerah, penyakit itu tak lama lagi akan menyebar. Tahun 2008 dilaporkan bahwa kasus anjing yang diduga menderita rabies
yang menggigit manusia sebanyak 20.926 kasus yang meninggal 104 orang, Tahun
2009 ada 42.106 kasus yang meninggal 137 orang, Tahun 2010 sampai bulan agustus
ada 40.180 kasus yang meninggal 113 orang. Masa inkubasi pada manusia
tergantung dari daerah yang di gigit. Semakin dekat dengan kepala semakin
pendek masa inkubasinya karena target virus rabies adalah susunan syaraf pusat.
Dampak ekonomi Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban
jiwa yang diakibatkannya. Selain itu, dampak ekonomi juga sangat signifikan. Menurut WHO, estimasi
kerugian ekonomi akibat rabies adalah lebih dari 583 juta dolar per tahun
dengan beban terbesar adalah Asia sebagai wilayah dengan kasus rabies paling
banyak. Total kerugian ekonomi atas rabies di NTT tahun
1998-2007 mencapai Rp 142 miliar atau Rp 14,2 miliar per tahun. Biaya itu
dihabiskan untuk biaya pengobatan pascagigitan anjing pada manusia Rp 19,9
miliar serta biaya vaksinasi dan biaya eliminasi hewan tertular sebesar Rp
122,5 miliar (Wera, Geong, dan Sanam dalam Kompas.com, 25/10/2010). Penyakit ini menjadi
masalah yang serius di negara berkembang karena lebih dari 3 (tiga) milyar
manusia dilebih dari 100 (seratus) negara termasuk Indonesia beresiko tertular
rabies.
Rabies atau yang populer disebut
penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus
neurotropik dari ss RNA virus; genus Lyssavirus; famili Rhabdoviridae. Bersifat
akut (cepat), menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas maupun
manusia. Hewan anjing, kucing, kera/monyet yang disebut dengan istilah HPR
(Hewan Pembawa Rabies) berpotensi menularkan rabies ke manusia. Virus rabies
masuk ke dalam tubuh manusia maupun
hewan melalui luka gigitan oleh hewan penderita rabies dan melalui luka
yang terkena air liur hewan penderita rabies. Tetapi angka terbanyak adalah
melalui gigitan. Data kasus gigitan HPR yang
terjadi adalah 90 % oleh anjing, 6% oleh kucing, 3% oleh kera/monyet, 1,5% oleh
kelelewar, rubah. Rabies sangat ditakuti oleh para ahli dan seluruh manusia
dikarenakan penyakit ini menular ke manusia (Zoonosis), belum ada obatnya, dan
sangat mematikan dengan Case Fatality Rate (CFR) 100% baik pada hewannya maupun
manusianya.
Tanda-Tanda Penyakit Rabies Pada Hewan Dan Manusia
Pada hewan, penyakit Rabies
bias dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk yaitu bentuk diam/tenang (Dumb Rabies) dan bentuk ganas (Furious Rabies). Tanda – tanda
Rabies bentuk diam/tenang (Dumb Rabies)
: Hewan suka bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk, terjadi
kelumpuhan, hewan terlihat tidak dapat mengunyah makanan, tidak mampu menelan
air yang menyebabkan penyakit ini diberi sinonim “ hidrofobia” (takut air), rahang bawah tidak dapat dikatupkan dan
air liur menetes berlebihan, kejang - kejang berlangsung singkat dan kadang
sering tidak terlihat, hewan tidak ada keinginan menyerang atau mengigit.
Kematian akan terjadi dalam beberapa jam.
Tanda – tanda Rabies bentuk ganas (Furious Rabies) : Hewan
terlihat agresif dan tidak lagi menurut pemiliknya, air liur keluar berlebihan
(hipersalivasi), nafsu makan hilang (anoreksia), suara menjadi parau, menyerang
dan menggigit apa saja yang dijumpai, bila berdiri sikapnya kaku, ekor
dilengkungkan ke bawah perut diantara kedua paha belakangnya, bila menyerang anak
anjing akan terlihat lincah dan suka bermain, tetapi bila dipegang akan
menggigit dan menjadi ganas dalam beberapa jam, kejang-kejang kemudian lumpuh,
biasanya mati setelah 4-7 hari timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah
penggigitan. Pada Manusia yang yang terkena rabies akan
terlihat tanda – tanda: lesu, nafsu makan hilang, mual, muntah, demam
tinggi, sakit kepala, dan tidak bisa tidur, rasa nyeri di tempat bekas luka
gigitan dan nampak kesakitan serta menjadi gugup, suka mengigau, dan selalu
ingin bergerak, ada rasa takut pada air, sensitif terhadap adanya suara yang keras
dan cahaya matahari, air liur dan air mata keluar berlebihan, pupil mata
membesar, kejang-kejang lalu mengalami kelumpuhan dan akhirnya meninggal dunia.
Biasanya penderita meninggal 4-6 hari setelah gejala-gejala / tanda-tanda
pertama timbul.
Pemberantasan dan Penanggulangan rabies
Berbicara
mengenai penyakit zoonosis ada 2 (dua) penderita yaitu : Hewan dan Manusia. Ini
maknanya ada 2 (dua) kewenangan medis
(medical authority) yang melekat yaitu pada manusia adanya medical
authority oleh dokter di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan dan pada hewan adanya veterinary medical authority oleh dokter hewan di bawah koordinasi
Kementerian Pertanian (Sitepu, 2011). Selama
penyakit rabies maupun penyakit zoonosis lainnya masih bersumber dari hewan,
mau tidak mau kewenangan medis veteriner harus berada di garda depan. Akan tetapi
pada saat ini dampak dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah (Otda) peranan
kewenangan medis veteriner tidak jelas arahnya. Otda memberikan wewenang penuh Pemerintah
Daerah untuk membentuk SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang diwujudkan
dalam Dinas-Dinas yang kesemuanya hanya berorientasi kepada Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Untuk hal-hal yang tidak
berkontribusi terhadap PAD tidak menjadi prioritas. Seperti misal Dinas yang
membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ada di suatu daerah baik itu
Provinsi, Kabupaten, Kotamadya Dinas Peternakan sama sekali tidak ada. Walaupun
ada tetapi di gabung dengan Dinas Pertanian, Kelautan malah ada yang digabung
dengan Kehutanan. Sehingga yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan
hewan hanya setara eselon III (Kepala Bidang) atau malah eselon IV (Kepala
seksi). Ini jelas akan berdampak terhadap langkah – langkah atau kebijakan yang
diambil dalam pemberantasan penyakit menular yang bersumber dari binatang. Akan
tetapi tatkala ada wabah penyakit yang bersumber dari binatang yang menular ke
manusia seperti Flu Burung, Anthrax Pemda kebingungan harus berbuat apa. Yang
ada hanya saling melempar tanggung jawab. Ini sungguh ironis. Untuk itulah Badan
Otoritas Veteriner (BOV) yang
diamanatkan oleh UU No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
harus segera terwujud.
Karena di dalam Badan Otoritas Veteriner seluruh pengambilan
keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan selalu dengan
melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini
kemampuan profesi mulai dari mengidentifikasi masalah, menentukan kebijakan,
mengkoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan teknis
operasional di lapangan. Pemerintah sebenarnya telah membentuk sebuah strategi atau
sistem dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular yang terpadu
yang dikenal dengan konsep Siskeswanas (Sistem Kesehatan Hewan
Nasional) dan BOV merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan Siskeswanas.
Di sini
penulis hanya ingin menguraikan dari
aspek kewenangan medis veteriner. Rabies
termasuk jenis penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi. Dua hal pokok yang
diperlukan dalam pengendalian rabies adalah vaksinasi dan pengendalian anjing
baik lalulintasnya (pemasukan dan pengeluaran antar area/pulau) dan
pengendalian anjing liar (stray dog).
Mengacu kepada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kesehatan, Menteri
Pertanian, Menteri Dalam Negeri yang telah ditandatangani pada tanggal 15
Agustus 1978 untuk kegiatan pemberantasan dan penanggulangan rabies dibutuhkan
partisipasi masyarakat dalam bentuk :
-
Jika ada kasus gigitan hendaknya dilaporkan ke petugas Dinas
yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di tingkat
kecamatan/kota/kabupaten/provinsi.
-
Hewan yang menggigit ditangkap dan dilaporkan ke Dinas di
atas untuk di observasi selama 14 hari. Jika anjing tersebut mati maka kepala
anjing terebut di kirim ke laboratorium untuk dilakukan kepastian diagnosa
penyebab kematiannya.
-
Memelihara anjing dengan baik dan benar yaitu dengan cara tidak
dibiarkan berkeliaran, dibrongsong atau dirantai atau di brangus.
-
Memvaksin rabies HPR terutama anjing minmal 1 tahun sekali
di dinas peternakan maupun dokter hewan praktek.
-
Anjing didaftarkan di kantor kelurahan setempat.
-
Anjing liar yang tidak ada pemiliknya hendaknya dibunuh.
-
Tidak membuang makanan sisa di tempat terbuka untuk
mengurangi sumber makanan anjing liar.
-
Bilamana akan melalulintaskan anjing antar pulau, antar
propinsi hendaknya mematuhi persyaratan karantina hewan di bandara-bandara
maupun pelabuhan laut dan penyeberangan.
Peran serta
masyarakat dan kerjasama yang sinergis antar instansi pemerintah sangat
diharapkan. Ini semua untuk mewujudkan Indonesia menuju bebas rabies tahun
2015. Semoga bisa terwujud.