Selasa, 09 Desember 2014



PULAU KARANTINA DAN TANTANGAN PENYAKIT
Oleh : Drh.  Agus Karyono


Masih tingginya harga daging dan belum tercapainya swasembada daging sapi akhirnya memaksa pemerintah bersama DPR untuk meng amandeman UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Diantara pasal  36 dan 37 disisipkan 4 (empat) pasal yaitu 36 A, 36  B, 36 C, 36 D.  Pasal 36 C berbunyi sebagai berikut ayat (1) “Pemasukan ternak ruminansia indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya”, ayat (2) “Persyaratan dan tata cara pemasukan ternak ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang kesehatan hewan mengutamakan kepentingan nasional”. Kemudian pasal 36 D ayat 1 berbunyi “Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pasal 36C harus ditempatkan di pulau/tempat karantina sebagai Instalasi karantina Pengamanan Maksimum untuk jangka waktu tertentu”. Ayat 2 berbunyi “Ketentuan mengenai pulau/tempat karantina diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Salah satu klausul yang penting dari amandemen UU PKH tersebut adalah skema importasi yang tadinya berbasis negara (country based) menjadi zona based. Keuntungan berbasis zona adalah pasokan sapi dan daging dapat berasal dari banyak negara dan tidak bergantung pada satu negara sehingga pada akhirnya kualitas dan harga dapat terjangkau oleh rakyat. Kerugian yang terpenting adalah sisi teknis penyakit baik eksotik dan endemis, jika kita lengah dan tidak waspada maka penyakit akan masuk sehingga berpotensi memusnahkan sumber daya  alam yang kita miliki. Biaya, waktu, tenaga, sarana dan prasarana untuk melakukan pengendalian, pemberantasan dan pembebasan penyakit tersebut akan sangat besar. Contohnya kita pernah mempunyai pengalaman dalam upaya pemberantasan dan pembebasan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada sapi dan berhasil. Perlu waktu 100 tahun lebih untuk membebaskannya. Pertama kali muncul tahun 1887 dan dinyatakan bebas oleh OIE 1990.
Implikasi dari perubahan UU ini adalah akan timbul effort yang sangat besar di bidang teknis perkarantinaan dan pengawasan ternak yang lebih ketat. Dari yang tadinya importasi berbasis negara yang sudah sangat aman menjadi berbasis zona sehingga tindak karantina yang dilakukan akan sangat ketat (rigid). Sebanyak 65 penyakit hewan karantina golongan I dan 56 penyakit golongan II yang harus kita cegah masuk.
Skema country base tidak menguntungkan bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan, oleh sebab itu dibutuhkan suatu daerah untuk menampung sapi-sapi tersebut dalam jangka waktu tertentu di sebuah pulau yang dinamakan Pulau Karantina. Pemerintah telah menyiapkan 3 pulau yaitu Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara dan Sumatra Utara.
Pulau karantina merupakan salah satu bagian dari Kebijakan Pengamanan Maksimum atau Maximum  Security Policy. Definisi Pengamanan Maksimum adalah segala  upaya, tindakan dan langkah kegiatan baik yang bersifat administratif maupun teknis, untuk mencegah masuknya hewan dan bahan asal hewan, serta hasil ikutannya yang berpotensi membawa penyakit menular (khususnya yang termasuk List A OIE) dan penyakit eksotik lainnya dalam rangka melindungi dunia peternakan di Indonesia. Inti dari Kebijakan Pengamanan Maksimum adalah tindak kesehatan hewan (termasuk kesmavet juga) dan Tindakan Karantina. Kebijakan tersebut harus  senantiasa berlandaskan ilmiah dengan pendekatan ilmu terapan Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Disamping landasan ilmiah juga diperlukan landasan yuridis dan legalitas, baik berdasarkan peraturan perundangan dalam negeri atau berdasarkan konvensi internasional. Di dalam penerapan Kebijakan Pengamanan Maksimum landasan ilmiah dan yuridis  tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen yaitu tidak pilih bulu dan berkelanjutan serta tanpa ada pengecualian. Aspek legalitas yang urgen untuk segera diselesaikan adalah Peraturan Pemerintah mengenai Pulau Karantina oleh Badan Karantina Pertanian. Dalam UU ini hanya sapi indukan yang diperbolehkan masuk sedangkan sapi bakalan (feeder) dan sapi siap potong (slaughter) tidak termasuk di dalam aturan ini sehingga tidak boleh di impor.
          Dari aspek teknis tindak karantina penguatan laboratorium mutlak harus dipersiapkan. Karena berbicara mengenai suatu penyakit (disease), peran uji laboratorium adalah suatu hal yang wajib dilakukan. Untuk penyakit-penyakit menular tertentu seperti BSE, PMK diperlukan standar laboratorium Bio Safety Level (BSL) 4. Penguatan laboratorium dimulai dari peningkatan standar kompetensi SDM laboratorium, alat-alat pengujian, level laboratorium dan tentunya ruang lingkupnya harus sudah terakreditasi.
Seiring dengan visi kabinet Kerja Presiden Joko Widodo sekarang adalah akan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia. Pulau Karantina adalah salah satu tantangan yang harus kita hadapi dan buktikan untuk menuju kemandirian pangan. Perlu kerjasama dan koordinasi yang sinergis antar Kementerian baik Kementerian Pertanian (Karantina) terkait tindak karantina, Kementerian Keuangan (custom) terkait fiskal, KemenkumHam (imigrasi) terkait lalu lintas orang, Kementerian Perhubungan terkait penyediaan dermaga bongkar. Semoga…….