PULAU
KARANTINA DAN TANTANGAN PENYAKIT
Oleh : Drh. Agus Karyono
Masih tingginya harga
daging dan belum tercapainya swasembada daging sapi akhirnya memaksa pemerintah
bersama DPR untuk meng amandeman UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (PKH). Diantara pasal 36
dan 37 disisipkan 4 (empat) pasal yaitu 36 A, 36 B, 36 C, 36 D. Pasal 36 C berbunyi sebagai berikut ayat (1)
“Pemasukan ternak ruminansia indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dapat berasal dari suatu negara
atau zona dalam suatu negara yang
telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya”, ayat (2) “Persyaratan
dan tata cara pemasukan ternak ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis
risiko di bidang kesehatan hewan mengutamakan kepentingan nasional”. Kemudian
pasal 36 D ayat 1 berbunyi “Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal
dari zona sebagaimana dimaksud pasal 36C harus ditempatkan di pulau/tempat
karantina sebagai Instalasi karantina Pengamanan Maksimum untuk jangka waktu
tertentu”. Ayat 2 berbunyi “Ketentuan mengenai pulau/tempat karantina diatur
dengan Peraturan Pemerintah”.
Salah satu klausul
yang penting dari amandemen UU PKH tersebut adalah skema importasi yang tadinya
berbasis negara (country based)
menjadi zona based. Keuntungan berbasis zona adalah pasokan
sapi dan daging dapat berasal dari banyak negara dan tidak bergantung pada satu
negara sehingga pada akhirnya kualitas dan harga dapat terjangkau oleh rakyat. Kerugian yang terpenting adalah sisi
teknis penyakit baik eksotik dan endemis, jika kita lengah dan tidak waspada maka
penyakit akan masuk sehingga berpotensi memusnahkan sumber daya alam yang kita miliki. Biaya, waktu, tenaga,
sarana dan prasarana untuk melakukan pengendalian, pemberantasan dan pembebasan
penyakit tersebut akan sangat besar. Contohnya kita pernah mempunyai pengalaman
dalam upaya pemberantasan dan pembebasan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada sapi
dan berhasil. Perlu waktu 100 tahun lebih untuk membebaskannya. Pertama kali
muncul tahun 1887 dan dinyatakan bebas oleh OIE 1990.
Implikasi dari
perubahan UU ini adalah akan timbul effort yang sangat besar di bidang teknis
perkarantinaan dan pengawasan ternak yang lebih ketat. Dari yang tadinya
importasi berbasis negara yang sudah sangat aman menjadi berbasis zona sehingga
tindak karantina yang dilakukan akan sangat ketat (rigid). Sebanyak 65 penyakit
hewan karantina golongan I dan 56 penyakit golongan II yang harus kita cegah
masuk.
Skema country base
tidak menguntungkan bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan, oleh sebab
itu dibutuhkan suatu daerah untuk menampung sapi-sapi tersebut dalam jangka
waktu tertentu di sebuah pulau yang dinamakan Pulau Karantina. Pemerintah telah
menyiapkan 3 pulau yaitu Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara dan Sumatra Utara.
Pulau karantina
merupakan salah satu bagian dari Kebijakan Pengamanan Maksimum atau Maximum
Security Policy. Definisi Pengamanan Maksimum adalah segala upaya, tindakan dan langkah kegiatan baik
yang bersifat administratif maupun teknis, untuk mencegah masuknya hewan dan
bahan asal hewan, serta hasil ikutannya yang berpotensi membawa penyakit menular
(khususnya yang termasuk List A OIE) dan penyakit eksotik lainnya dalam rangka
melindungi dunia peternakan di Indonesia. Inti dari Kebijakan Pengamanan
Maksimum adalah tindak kesehatan hewan (termasuk kesmavet juga) dan Tindakan
Karantina. Kebijakan tersebut harus
senantiasa berlandaskan ilmiah dengan pendekatan ilmu terapan
Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Disamping landasan ilmiah juga diperlukan
landasan yuridis dan legalitas, baik berdasarkan peraturan perundangan dalam
negeri atau berdasarkan konvensi internasional. Di dalam penerapan Kebijakan Pengamanan
Maksimum landasan ilmiah dan yuridis
tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen yaitu tidak
pilih bulu dan berkelanjutan serta tanpa ada pengecualian. Aspek legalitas yang
urgen untuk segera diselesaikan adalah Peraturan Pemerintah mengenai Pulau
Karantina oleh Badan Karantina Pertanian. Dalam UU ini hanya sapi indukan yang
diperbolehkan masuk sedangkan sapi bakalan (feeder)
dan sapi siap potong (slaughter)
tidak termasuk di dalam aturan ini sehingga tidak boleh di impor.
Dari aspek teknis tindak karantina
penguatan laboratorium mutlak harus dipersiapkan. Karena berbicara mengenai
suatu penyakit (disease), peran uji
laboratorium adalah suatu hal yang wajib dilakukan. Untuk penyakit-penyakit
menular tertentu seperti BSE, PMK diperlukan standar laboratorium Bio Safety
Level (BSL) 4. Penguatan laboratorium dimulai dari peningkatan standar
kompetensi SDM laboratorium, alat-alat pengujian, level laboratorium dan
tentunya ruang lingkupnya harus sudah terakreditasi.
Seiring dengan visi
kabinet Kerja Presiden Joko Widodo sekarang adalah akan menjadikan Indonesia
sebagai Poros Maritim dunia. Pulau Karantina adalah salah satu
tantangan yang harus kita hadapi dan buktikan untuk menuju kemandirian pangan.
Perlu kerjasama dan koordinasi yang sinergis antar Kementerian baik Kementerian
Pertanian (Karantina) terkait tindak karantina, Kementerian Keuangan (custom)
terkait fiskal, KemenkumHam (imigrasi) terkait lalu lintas orang, Kementerian Perhubungan
terkait penyediaan dermaga bongkar. Semoga…….