Rabu, 07 Januari 2015



ANALISIS REGULASI ATAS DIHENTIKANNYA TEMPAT PEMERIKSAAN FISIK TERPADU (TPFT) KARANTINA GRAHA SEGARA OLEH BEA CUKAI
Oleh : Drh. Agus Karyono
Medik Veteriner Muda Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok

Sejak tanggal 10 desember 2014 pelayanan pemeriksaan fisik karantina di TPFT Graha Segara untuk sementara dihentikan. Hal ini berdasarkan surat edaran dari Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok nomor : S-4035/KPU.01/2014 Perihal Evaluasi Uji Coba Pemindahan Lokasi Penimbunan (PLP) di TPFT Graha Segara bahwa terjadi penambahan dwelling time rata-rata 10 hari dan dari aspek prosedur pemindahan kontener dari tempat penimbunan Koja ke Graha Segar dengan mekanisme PLP belum sepenuhnya memenuhi aturan kepabeanan.
Penambahan Dwelling Time
Pada mulanya, TPFT Graha Segara memang hanya dikhususkan untuk pemeriksaan fisik (bahandle) Jalur Merah saja, akan tetapi karena adanya kebijakan pemerintah untuk menurunkan “dwelling time” maka jalur merah yang tadinya berkisar antara 10-15 % sekarang ini menjadi kurang lebih 5 %, sehingga secara otomatis kapasitas YOR Graha Segara menjadi luas. Dwelling time diukur dari mulai barang tersebut dibongkar dari kapal sampai gate out pelabuhan. Atas desakan Ombudsman dan Wasekkab terkait percepatan arus barang di pelabuhan maka dikeluarkanlah kebijakan bahwa semua komoditas karantina, wajib dilakukan pemeriksaan di TPFT. Untuk itulah maka Otoritas Pelabuhan menyediakan 2 lokasi TPFT yaitu CDC Banda dan Graha Segara. CDC banda untuk kontener yang berasal dari JICT dan Graha Segara yang berasal dari Koja. Perbedaan yang mendasar dari TPFT ini adalah bahwa CDC Banda dipergunakan untuk tempat pemeriksaan fisik yang sudah SPPB sedangkan Graha Segara belum SPPB. Disinilah letak krusial permasalahannya.
Di CDC Banda, bagi bea cukai sudah tidak ada masalah karena pertama karantina sudah lebih dulu meng upload KH-7/KT-2 ke INSW sehingga importir dapat langsung melakukan submit PIB dan kedua karena sudah submit PIB maka bea cukai segera melakukan penjaluran dan jika jalur hijau secara otomatis langsung terbit Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), sehingga tidak akan berpengaruh terhadap dwelling time. Sedangkan di Graha Segara adalah sebaliknya yaitu pertama karantina tidak lagi meng upload KH-7/KT-2 ke INSW, tetapi dilakukan tindak karantina (pemeriksaan fisik) terlebih dahulu. Setelah tindak karantina selesai yang ditandai dengan penerbitan sertifikat pelepasan (KH-12/KT-9) baru upload ke INSW sebagai dasar submit PIB importir ke bea cukai untuk dilakukan penjaluran. Kedua bila dalam penjalurannya ternyata terkena jalur merah maka akan terjadi double inspect (dobel pemeriksaan). Yang pertama pemeriksaan oleh karantina dan yang kedua oleh bea cukai. Dan inilah yang menyebabkan penambahan dwelling time dan cost yang lebih tinggi. Dalam hal ini karantina melakukan pemeriksaan dahulu sebelum bea cukai melakukan tindakan kepabeanan apapun. Istilahnya adalah di dalam masa pre-clearence. Terkait waktu, bagi karantina sebenarnya sudah sesuai dengan janji layanannya yaitu bila komoditi low risk akan memakan waktu 1 jam – 1 hari, medium risk 1 hari – 4 hari.
Mekanisme PLP
Pemindahan kontener dengan mekanisme Pindah Lokasi Penimbunan (PLP) hanya dilakukan di TPFT Graha Segara. Yaitu dari terminal bongkar Koja ke Graha Segara. Mekanisme ini telah disepakati bersama antara Otoritas Pelabuhan, Karantina, Bea Cukai. Tidak ada mekanisme/cara lain dalam perpindahan kontener antar TPS sebelum SPPB selain PLP. Dari awal memang bea cukai kurang “sreg”  dengan mekanisme ini karena tidak memenuhi sepenuhnya ketentuan tentang aturan PLP, tetapi atas desakan Ombudsman dan Wasekkab, maka akhirnya PLP ini yang dipilih sambil dilakukan evaluasi di dalam pelaksanaannya dan penerbitan aturan baru yang mengatur perihal perpindahan kontener antar TPS sebelum terbit SPPB.

Mekanisme PLP diatur dalam Perdirjen Bea dan Cukai nomor : PER-28/BC/2013 tentang Tata laksana PLP impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari satu TPS ke TPS lainnya. Dalam pasal 2 ayat (1) dijelaskan bahwa PLP dapat dilakukan jika :
a.    YOR atau SOR TPS sama dengan atau lebih tinggi dari batas standar utilisasi yang ditetapkan oleh teknis yang bertanggung jawab di bidang pelabuhan. Yard Occupancy Ratio (YOR) adalah perbandingan antara jumlah penggunaan lapangan penumpukan dengan lapangan penumpukan yang tersedia (siap operasi) yang dihitung dalam satuan tonhari atau m3hari. Shed Occupancy Ratio (SOR) adalah perbandingan antara jumlah penggunaan ruang penumpukan dengan ruang penumpukan yang tersedia yang dihitung dalam satuan tonhari atau m3hari. Menurut informasi bila YOR/SOR > 60 % dapat diberlakukan PLP.
b.   Pada TPS Asal tidak tersedia tempat penimbunan barang impor konsolidasi, yaitu pengangkutan barang impor menggunakan satu peti kemas untuk lebih dari satu penerima barang atau menggunakan 1 (satu) peti kemas untuk lebih dari 1 (satu) house bill of lading dengan penerima barang yang sama (Less than Container Load/LCL);
c.    Pada TPS Asal tidak tersedia lapangan atau gudang penumpukan barang impor yang membutuhkan sarana dan prasarana yang khusus atau penggunaan kapasitas tempat penumpukan dengan sarana dan prasarana yang khusus yang tersedia mencapai sama dengan atau lebih tinggi dari batas standar utilisasi fasilitas;
d.   Barang impor berupa barang kena cukai yang akan dilekati pita cukai di TPS tujuan;
e.    Barang impor konsolidasi dalam 1 (satu) masterairway bill atau master bill of lading; atau
f.     Berdasarkan pertimbangan Kepala kantor Pabean dimungkinkan terjadi stagnasi setelah mendapatkan masukan dari Pengusaha Asal.
Terkait PLP ini, komoditas karantina sebenarnya tidak dapat diakomodir oleh bea cukai, namun karena semangat untuk percepatan arus pelayanan barang, akhirnya di “cantolkan” lah ke dalam butir c yaitu barang impor yang membutuhkan sarana dan prasarana khusus. Tetapi ternyata tidak khusus pelayanannya dan diproses seperti PLP biasa, sehingga membutuhkan waktu yang lama.
Solusi Integratif
Penulis ingat dalam suatu kesempatan di salah satu TV nasional, pak Wapres Jusuf Kalla menyampaikan bahwa “Tidak ada peraturan yang tidak dapat dirubah di negeri ini kecuali “Kitab Suci”. Ini menginspirasi bahwa permasalahan di TPFT dapat dipecahkan melalui regulasi dan koordinasi. Mengatasi permasalahan di tingkat Pelabuhan sebesar Tanjung Priok tidak dapat parsial melainkan harus ter-integrasi karena banyak pihak yang berkepentingan baik sosial, ekonomi maupun politis. Menurut penulis langkah-langkah untuk memecahkan masalah tersebut adalah :
Pertama membuat payung hukum (regulasi) setingkat Keputusan Presiden (Keppres). Mengapa harus setingkat Keppres..?karena ± 70 % barang ekspor-impor lewat Pelabuhan Tanjung Priok sehingga akan berpengaruh terhadap sistem logistik nasional. Bila barang tertahan lebih lama di pelabuhan maka akibatnya biaya logistik akan meningkat, kualitas barang akan menurun sehingga roda ekonomi dan pertumbuhan ekonomi akan terhambat, investor tidak akan datang ke Indonesia karena birokrasi yang berbelit-belit. Dalam hal ini Karantina, Bea Cukai, Otoritas Pelabuhan, Pelindo II hendaknya saling mengkedepankan peran dan bukan kewenangan sehingga aturan tersebut saling memperkuat dan melengkapi. Prinsip dasar dalam Keppres tersebut adalah bahwa setiap komoditas karantina yang keluar pelabuhan (sudah SPPB) harus selesai (clear) baik karantina maupun bea cukai. Ini artinya pemeriksaan fisik harus berada di lini I. Tidak seperti saat ini kontener sudah SPPB namun belum selesai proses karantinanya sehingga kontener masuk lagi ke TPFT yang notabene berada di dalam pelabuhan.

 Kedua mendorong PT Pelindo II untuk menetapkan Pelabuhan Tanjung Priok menjadi 1 (satu) kawasan pabean, sehingga akan mempermudah perpindahan (moving) petikemas dari terminal bongkar ke TPFT guna dilakukan pemeriksaan oleh siapapun sesuai dengan kewenangannya. Saat ini kawasan pabean PT Pelindo II atau menurut istilah bea cukai disebut sebagai TPS (Tempat Penimbunan Sementara) sangat banyak. TPS tersebut antara lain PT JICT, (KSO) TPK Koja, PT MAL, PT Pelindo Cab Tanjung Priok, CDC Banda dan PT Graha Segara. Ketiga secara terjadwal, para stakeholder harus seringkali bertemu “coffee morning” untuk saling berkoordinasi baik ada permasalahan maupun tidak.
Akhirnya Pelabuhan Tanjung Priok yang diistilahkan  sebagai Pelabuhan Tumbuh (Growth Port) akan menjadi yang terdepan di dalam kecepatan arus pelayanan dan siap melayani MEA yang sudah berlaku per 1 Januari 2015. Semoga…..


Selasa, 09 Desember 2014



PULAU KARANTINA DAN TANTANGAN PENYAKIT
Oleh : Drh.  Agus Karyono


Masih tingginya harga daging dan belum tercapainya swasembada daging sapi akhirnya memaksa pemerintah bersama DPR untuk meng amandeman UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Diantara pasal  36 dan 37 disisipkan 4 (empat) pasal yaitu 36 A, 36  B, 36 C, 36 D.  Pasal 36 C berbunyi sebagai berikut ayat (1) “Pemasukan ternak ruminansia indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya”, ayat (2) “Persyaratan dan tata cara pemasukan ternak ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang kesehatan hewan mengutamakan kepentingan nasional”. Kemudian pasal 36 D ayat 1 berbunyi “Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pasal 36C harus ditempatkan di pulau/tempat karantina sebagai Instalasi karantina Pengamanan Maksimum untuk jangka waktu tertentu”. Ayat 2 berbunyi “Ketentuan mengenai pulau/tempat karantina diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Salah satu klausul yang penting dari amandemen UU PKH tersebut adalah skema importasi yang tadinya berbasis negara (country based) menjadi zona based. Keuntungan berbasis zona adalah pasokan sapi dan daging dapat berasal dari banyak negara dan tidak bergantung pada satu negara sehingga pada akhirnya kualitas dan harga dapat terjangkau oleh rakyat. Kerugian yang terpenting adalah sisi teknis penyakit baik eksotik dan endemis, jika kita lengah dan tidak waspada maka penyakit akan masuk sehingga berpotensi memusnahkan sumber daya  alam yang kita miliki. Biaya, waktu, tenaga, sarana dan prasarana untuk melakukan pengendalian, pemberantasan dan pembebasan penyakit tersebut akan sangat besar. Contohnya kita pernah mempunyai pengalaman dalam upaya pemberantasan dan pembebasan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada sapi dan berhasil. Perlu waktu 100 tahun lebih untuk membebaskannya. Pertama kali muncul tahun 1887 dan dinyatakan bebas oleh OIE 1990.
Implikasi dari perubahan UU ini adalah akan timbul effort yang sangat besar di bidang teknis perkarantinaan dan pengawasan ternak yang lebih ketat. Dari yang tadinya importasi berbasis negara yang sudah sangat aman menjadi berbasis zona sehingga tindak karantina yang dilakukan akan sangat ketat (rigid). Sebanyak 65 penyakit hewan karantina golongan I dan 56 penyakit golongan II yang harus kita cegah masuk.
Skema country base tidak menguntungkan bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan, oleh sebab itu dibutuhkan suatu daerah untuk menampung sapi-sapi tersebut dalam jangka waktu tertentu di sebuah pulau yang dinamakan Pulau Karantina. Pemerintah telah menyiapkan 3 pulau yaitu Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara dan Sumatra Utara.
Pulau karantina merupakan salah satu bagian dari Kebijakan Pengamanan Maksimum atau Maximum  Security Policy. Definisi Pengamanan Maksimum adalah segala  upaya, tindakan dan langkah kegiatan baik yang bersifat administratif maupun teknis, untuk mencegah masuknya hewan dan bahan asal hewan, serta hasil ikutannya yang berpotensi membawa penyakit menular (khususnya yang termasuk List A OIE) dan penyakit eksotik lainnya dalam rangka melindungi dunia peternakan di Indonesia. Inti dari Kebijakan Pengamanan Maksimum adalah tindak kesehatan hewan (termasuk kesmavet juga) dan Tindakan Karantina. Kebijakan tersebut harus  senantiasa berlandaskan ilmiah dengan pendekatan ilmu terapan Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Disamping landasan ilmiah juga diperlukan landasan yuridis dan legalitas, baik berdasarkan peraturan perundangan dalam negeri atau berdasarkan konvensi internasional. Di dalam penerapan Kebijakan Pengamanan Maksimum landasan ilmiah dan yuridis  tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen yaitu tidak pilih bulu dan berkelanjutan serta tanpa ada pengecualian. Aspek legalitas yang urgen untuk segera diselesaikan adalah Peraturan Pemerintah mengenai Pulau Karantina oleh Badan Karantina Pertanian. Dalam UU ini hanya sapi indukan yang diperbolehkan masuk sedangkan sapi bakalan (feeder) dan sapi siap potong (slaughter) tidak termasuk di dalam aturan ini sehingga tidak boleh di impor.
          Dari aspek teknis tindak karantina penguatan laboratorium mutlak harus dipersiapkan. Karena berbicara mengenai suatu penyakit (disease), peran uji laboratorium adalah suatu hal yang wajib dilakukan. Untuk penyakit-penyakit menular tertentu seperti BSE, PMK diperlukan standar laboratorium Bio Safety Level (BSL) 4. Penguatan laboratorium dimulai dari peningkatan standar kompetensi SDM laboratorium, alat-alat pengujian, level laboratorium dan tentunya ruang lingkupnya harus sudah terakreditasi.
Seiring dengan visi kabinet Kerja Presiden Joko Widodo sekarang adalah akan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia. Pulau Karantina adalah salah satu tantangan yang harus kita hadapi dan buktikan untuk menuju kemandirian pangan. Perlu kerjasama dan koordinasi yang sinergis antar Kementerian baik Kementerian Pertanian (Karantina) terkait tindak karantina, Kementerian Keuangan (custom) terkait fiskal, KemenkumHam (imigrasi) terkait lalu lintas orang, Kementerian Perhubungan terkait penyediaan dermaga bongkar. Semoga…….

Minggu, 06 Juli 2014

Indonesia membuka kembali importasi produk unggas non pangan dari Cina dan RRC



INDONESIA KEMBALI BUKA IMPORTASI PRODUK UNGGAS NON PANGAN DARI RRC DAN TAIWAN

Kabar gembira bagi pelaku usaha yang selama ini mengimpor dan mempergunakan produk unggas dari Cina. Dikarenakan sejak 4 Juni 2014 Kementerian Pertanian dengan SK No. 69/Permentan/OT.140/5/2014 membuka kembali pemasukan produk unggas non pangan yang berasal dari Negara Cina. Pembukaan importasi mengacu pada Terrestrial Animal Health Code bagian 10.4 yang dikeluarkan oleh OIE, Rekomendasi Komisi Ahli Kesehatan Masyarakat Veteriner dan kajian resiko oleh karantina hewan bahwasanya produk unggas yang telah melalui proses pemanasan yang sesuai dengan jenis olahannya dapat membunuh atau mengeliminasi virus Avian Influenza. Dengan catatan metode prosesing atau pengolahan harus dicantumkan di dalam Health Certificate.
Penutupan importasi dilakukan sejak 10 April 2013 sejak mewabahnya penyakit Avian Influenza subtype H7N9 yang menyerang burung dara di wilayah Songjiang, Shanghai Cina yang menyebabkan kematian pada manusia dan berpotensi menimbulkan pandemik ke berbagai wilayah di dunia. Langkah cepat pemerintah dilakukan karena subtipe H7N9 merupakan varian baru yang belum ada di Indonesia. Varian lama yang telah dikenal adalah subtype H5N1. Produk-produk yang sudah diperbolehkan masuk diantaranya Duck down (bulu bebek halus bagian dalam), goose down (bulu angsa halus bagian dalam), duck feather down (bulu bebek bagian luar), goose feather down (bulu angsa bagian luar) yang dipakai sebagai bahan baku industri garment seperti pembuatan jaket, bantal dan shuttlecock. Produk lain yang sering diperdagangkan diantaranya Poultry By Product Meal (tepung produk turunan unggas), Feather Meal (tepung bulu), Poultry Meal (tepung unggas) dan Hydrolized chicken Feather Meal (tepung bulu unggas basah) yang dipakai sebagai bahan baku pakan ternak. Sedangkan Unggas hidup dan produk unggas pangan masih belum dibuka kran importasinya. Produk unggas non pangan yang paling banyak didatangkan dari Cina adalah duck down, goose down.
Menurut Anders Enterprises Ltd  salah satu produsen, proses produksi sehingga menghasilkan duck down dan goose down yang siap di impor sebagai berikut : Tahap Pertama bulu bebek dan angsa dilakukan pencucian dengan detergent dan anti-bacteria detergent selama 20 menit dengan suhu 600 C. Tahap kedua pemintalan (spinning), Tahap ketiga sterilisasi dan pengeringan dengan alat stearn dry dengan temperature 1230 C selama 30 menit. Tahap ke empat penurunan suhu (pendinginan) selama 8-10 menit. Tahap kelima packing. Critical point dan risk analysis (analisa resiko) penyakit yang menyebabkan goose down dan duck down dapat di impor adalah adanya proses pemanasan hingga 123 derajat selama 30 menit, padahal target penyakit virus Avian Influenza akan mati pada suhu 800 C selama 1 menit. Sehingga resiko produk ini dapat diabaikan (negligible).
Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan keluhan dunia usaha dibidang garment akan kekurangan bahan baku dapat segera diatasi.