ANALISIS
REGULASI ATAS DIHENTIKANNYA TEMPAT PEMERIKSAAN FISIK TERPADU (TPFT) KARANTINA GRAHA
SEGARA OLEH BEA CUKAI
Oleh : Drh.
Agus Karyono
Medik
Veteriner Muda Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok
Sejak tanggal 10
desember 2014 pelayanan pemeriksaan fisik karantina di TPFT Graha Segara untuk sementara
dihentikan. Hal ini berdasarkan surat edaran dari Kantor Pelayanan Utama Bea
dan Cukai Tipe A Tanjung Priok nomor : S-4035/KPU.01/2014 Perihal Evaluasi Uji
Coba Pemindahan Lokasi Penimbunan (PLP) di TPFT Graha Segara bahwa terjadi
penambahan dwelling time rata-rata 10
hari dan dari aspek prosedur pemindahan kontener dari tempat penimbunan Koja ke
Graha Segar dengan mekanisme PLP belum sepenuhnya memenuhi aturan kepabeanan.
Penambahan
Dwelling Time
Pada mulanya, TPFT
Graha Segara memang hanya dikhususkan untuk pemeriksaan fisik (bahandle) Jalur Merah saja, akan tetapi
karena adanya kebijakan pemerintah untuk menurunkan “dwelling time” maka jalur merah yang tadinya berkisar antara 10-15
% sekarang ini menjadi kurang lebih 5 %, sehingga secara otomatis kapasitas YOR
Graha Segara menjadi luas. Dwelling time
diukur dari mulai barang tersebut dibongkar dari kapal sampai gate out
pelabuhan. Atas desakan Ombudsman dan Wasekkab terkait percepatan arus barang
di pelabuhan maka dikeluarkanlah kebijakan bahwa semua komoditas karantina, wajib
dilakukan pemeriksaan di TPFT. Untuk itulah maka Otoritas Pelabuhan menyediakan
2 lokasi TPFT yaitu CDC Banda dan Graha Segara. CDC banda untuk kontener yang
berasal dari JICT dan Graha Segara yang berasal dari Koja. Perbedaan yang
mendasar dari TPFT ini adalah bahwa CDC Banda dipergunakan untuk tempat
pemeriksaan fisik yang sudah SPPB sedangkan Graha Segara belum SPPB. Disinilah
letak krusial permasalahannya.
Di CDC Banda, bagi
bea cukai sudah tidak ada masalah karena pertama
karantina sudah lebih dulu meng upload KH-7/KT-2 ke INSW sehingga importir
dapat langsung melakukan submit PIB dan kedua
karena sudah submit PIB maka bea cukai segera melakukan penjaluran dan jika
jalur hijau secara otomatis langsung terbit Surat Persetujuan Pengeluaran Barang
(SPPB), sehingga tidak akan berpengaruh terhadap dwelling time. Sedangkan di Graha Segara adalah sebaliknya yaitu pertama karantina tidak lagi meng
upload KH-7/KT-2 ke INSW, tetapi dilakukan tindak karantina (pemeriksaan fisik)
terlebih dahulu. Setelah tindak karantina selesai yang ditandai dengan
penerbitan sertifikat pelepasan (KH-12/KT-9) baru upload ke INSW sebagai dasar
submit PIB importir ke bea cukai untuk dilakukan penjaluran. Kedua bila dalam penjalurannya ternyata
terkena jalur merah maka akan terjadi double
inspect (dobel pemeriksaan). Yang pertama pemeriksaan oleh karantina dan yang
kedua oleh bea cukai. Dan inilah yang menyebabkan penambahan dwelling time dan
cost yang lebih tinggi. Dalam hal ini karantina melakukan pemeriksaan dahulu
sebelum bea cukai melakukan tindakan kepabeanan apapun. Istilahnya adalah di
dalam masa pre-clearence. Terkait waktu, bagi karantina
sebenarnya sudah sesuai dengan janji layanannya yaitu bila komoditi low risk akan memakan waktu 1 jam – 1
hari, medium risk 1 hari – 4 hari.
Mekanisme
PLP
Pemindahan kontener
dengan mekanisme Pindah Lokasi Penimbunan (PLP) hanya dilakukan di TPFT Graha
Segara. Yaitu dari terminal bongkar Koja ke Graha Segara. Mekanisme ini telah
disepakati bersama antara Otoritas Pelabuhan, Karantina, Bea Cukai. Tidak ada
mekanisme/cara lain dalam perpindahan kontener antar TPS sebelum SPPB selain PLP. Dari awal memang bea cukai
kurang “sreg” dengan mekanisme ini
karena tidak memenuhi sepenuhnya ketentuan tentang aturan PLP, tetapi atas
desakan Ombudsman dan Wasekkab, maka akhirnya PLP ini yang dipilih sambil
dilakukan evaluasi di dalam pelaksanaannya dan penerbitan aturan baru yang
mengatur perihal perpindahan kontener antar TPS sebelum terbit SPPB.
Mekanisme PLP diatur
dalam Perdirjen Bea dan Cukai nomor : PER-28/BC/2013 tentang Tata laksana PLP
impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari satu TPS ke TPS lainnya.
Dalam pasal 2 ayat (1) dijelaskan bahwa PLP dapat dilakukan jika :
a.
YOR atau SOR TPS sama dengan atau
lebih tinggi dari batas standar utilisasi yang ditetapkan oleh teknis yang
bertanggung jawab di bidang pelabuhan. Yard
Occupancy Ratio (YOR) adalah perbandingan antara jumlah penggunaan lapangan penumpukan dengan lapangan
penumpukan yang tersedia (siap operasi) yang dihitung dalam satuan tonhari atau
m3hari. Shed Occupancy Ratio
(SOR) adalah perbandingan antara jumlah penggunaan ruang penumpukan dengan ruang penumpukan yang tersedia yang
dihitung dalam satuan tonhari atau m3hari. Menurut informasi bila
YOR/SOR > 60 % dapat diberlakukan PLP.
b.
Pada TPS Asal tidak tersedia tempat
penimbunan barang impor konsolidasi, yaitu pengangkutan barang impor
menggunakan satu peti kemas untuk lebih dari satu penerima barang atau
menggunakan 1 (satu) peti kemas untuk lebih dari 1 (satu) house bill of lading dengan penerima barang yang sama (Less than Container Load/LCL);
c.
Pada TPS Asal tidak tersedia lapangan
atau gudang penumpukan barang impor yang membutuhkan sarana dan prasarana yang
khusus atau penggunaan kapasitas tempat penumpukan dengan sarana dan prasarana
yang khusus yang tersedia mencapai sama dengan atau lebih tinggi dari batas
standar utilisasi fasilitas;
d.
Barang impor berupa barang kena cukai
yang akan dilekati pita cukai di TPS tujuan;
e.
Barang impor konsolidasi dalam 1
(satu) masterairway bill atau master bill of lading; atau
f.
Berdasarkan pertimbangan Kepala kantor
Pabean dimungkinkan terjadi stagnasi setelah mendapatkan masukan dari Pengusaha
Asal.
Terkait PLP ini, komoditas karantina
sebenarnya tidak dapat diakomodir oleh bea cukai, namun karena semangat untuk
percepatan arus pelayanan barang, akhirnya di “cantolkan” lah ke dalam butir c
yaitu barang impor yang membutuhkan sarana dan prasarana khusus. Tetapi
ternyata tidak khusus pelayanannya dan diproses seperti PLP biasa, sehingga
membutuhkan waktu yang lama.
Solusi
Integratif
Penulis ingat dalam
suatu kesempatan di salah satu TV nasional, pak Wapres Jusuf Kalla menyampaikan
bahwa “Tidak ada peraturan yang tidak dapat dirubah di negeri ini kecuali
“Kitab Suci”. Ini menginspirasi bahwa permasalahan di TPFT dapat dipecahkan
melalui regulasi dan koordinasi. Mengatasi permasalahan di
tingkat Pelabuhan sebesar Tanjung Priok tidak dapat parsial melainkan harus
ter-integrasi karena banyak pihak yang berkepentingan baik sosial, ekonomi
maupun politis. Menurut penulis langkah-langkah untuk memecahkan masalah
tersebut adalah :
Pertama
membuat payung hukum (regulasi) setingkat Keputusan Presiden (Keppres). Mengapa harus
setingkat Keppres..?karena ± 70 % barang ekspor-impor lewat Pelabuhan Tanjung
Priok sehingga akan berpengaruh terhadap sistem logistik nasional. Bila barang
tertahan lebih lama di pelabuhan maka akibatnya biaya logistik akan meningkat,
kualitas barang akan menurun sehingga roda ekonomi dan pertumbuhan ekonomi akan
terhambat, investor tidak akan datang ke Indonesia karena birokrasi yang
berbelit-belit. Dalam hal ini Karantina, Bea Cukai, Otoritas Pelabuhan, Pelindo
II hendaknya saling mengkedepankan peran dan bukan kewenangan sehingga aturan
tersebut saling memperkuat dan melengkapi. Prinsip dasar dalam Keppres tersebut
adalah bahwa setiap komoditas karantina yang keluar pelabuhan (sudah SPPB)
harus selesai (clear) baik karantina
maupun bea cukai. Ini artinya pemeriksaan fisik harus berada di lini I. Tidak
seperti saat ini kontener sudah SPPB namun belum selesai proses karantinanya
sehingga kontener masuk lagi ke TPFT yang notabene berada di dalam pelabuhan.
Kedua
mendorong PT Pelindo II untuk menetapkan Pelabuhan Tanjung Priok menjadi 1
(satu) kawasan pabean, sehingga akan mempermudah perpindahan (moving) petikemas dari terminal bongkar
ke TPFT guna dilakukan pemeriksaan oleh siapapun sesuai dengan kewenangannya.
Saat ini kawasan pabean PT Pelindo II atau menurut istilah bea cukai disebut
sebagai TPS (Tempat Penimbunan Sementara) sangat banyak. TPS tersebut antara
lain PT JICT, (KSO) TPK Koja, PT MAL, PT Pelindo Cab Tanjung Priok, CDC Banda
dan PT Graha Segara. Ketiga secara
terjadwal, para stakeholder harus seringkali bertemu “coffee morning” untuk saling berkoordinasi baik ada permasalahan
maupun tidak.
Akhirnya Pelabuhan
Tanjung Priok yang diistilahkan sebagai
Pelabuhan Tumbuh (Growth Port) akan
menjadi yang terdepan di dalam kecepatan arus pelayanan dan siap melayani MEA
yang sudah berlaku per 1 Januari 2015. Semoga…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar